... M. Syafi'ie
Seorang yang menyandang disabilitas dipandang
sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan
dan hanya akan membebani orang-orang di sekitar mereka.
Kebijakan juga dibangun dengan pendekatan berbasis karitas
(Nichola Colbran)
Pengantar
Penyandang disabilitas, juga
dikenal sebagai penyandang difable yang notabene singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu
orang-orang yang berbeda kemampuan.[1]
Istilah lainnya ialah differently able,
yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan.
Dalam Convention on the Rights of Persons
with Disabilities, penyandang difable dituliskan sebagai penyandang
disabilitas, yaitu mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual,
atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan
dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan
kesetaraan dengan lainnya.[2]
Dalam konvensi internasional
tentang disabilitas dimana Indonesia saat ini telah meratifikasiknya disebutkan
berbagai hak yang harus dipenuhi negara pihak bagi penyandang disabilitas,
diantaranya ialah hak untuk hidup, perlndungan dalam situasi yang penuh resiko
dan darurat, pengakuan yang setara di depan hukum, hak untuk bebas dan aman,
bebas dari rasa sakit dan perlakuan yang kejam, bebas dari eksploitasi,
kekerasan dan pelecehan, penghormatan terhadap privasi, bebas untuk hidup mandiri, hak untuk mengakses
mobilitas personal, akses informasi, penghormatan untuk memiliki rumah dan
keluarga, berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik, kebebasan
berekpresi, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti hak atas pendidikan,
kesehatan, rehabilitasi dan habilitasi, dan hak atas pekerjaan.
Jaminan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak penyandang disablitas di atas seiring dengan
meningkatnya kuantitas penyandang
disabilitas di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa
kecacatan telah menimpa sekitar 15% dari total penduduk di Negara-negara dunia.
sedangkan di Indonesia, penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 36. 150.
000 orang; sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang penduduknya
mencapai 241 juta jiwa.[3] Sebelumnya, tahun 2004 penyandang
disabilitas Indonesia diperkirakan
sebanyak 1. 480. 000 dengan rincian : fisik 162. 800 (11%), tunanetra 192. 400
(13%), tuna rungu 503. 200 (34%), mental dan intelektual 348. 800 (26%), dan
orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta dan tuberklosis) 236. 800
(16%). Jumlah angka ini diperkirakan jumlah penyandang disabilitas yang tinggal
dengan keluarga atau masyarakat, dan belum termasuk mereka yang tinggal di
panti asuhan.[4]
Sesuai dengan pemikiran di
atas, berikut adalah data dan informasi HAM terkait dengan pemenuhan hak-hak
penyandang disabiltas di daerah Yogyakarta, khususnya terkait dengan
aksesibilitas fisik dan non fisik pelayanan publik dan swasta. Data dan informasi
HAM penyandang disabilitas ini sangat penting
mengingat Yogyakarta adalah satu daerah yang penduduknya juga banyak
yang disable, dan pemerintah dalam beberapa hal dinilai relatif responsif dalam
memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.
Potret Aksesibilitas Fisik
Penyandang disablitas di
Yogyakarta sangat beragam, kelompok penyandang disabilitas yang paling
bersentuhan dengan aksesibilitas fisik pelayanan publik ialah para tuna daksa,
tuna netra, tuna rungu dan tuna grahita. Bagi panyandang disablitas tuna daksa,
mereka membutuhkan ruang publik yang ada ramp dengan kemiringan 1 : 12 antara
tinggi dan alas, pintu dengan lebar 90
cm, toilet yang sesuai dengan kursi roda, serta telepon umum yang rendah. Bagi
tuna netra, yang paling dibutuhkan ialah sistem audio, seperti talking lift, arsitektur yang memilki braile di handel tangga, warning block
di jalan umum, braile di keybord, titik handphone, dan lainnya.
Bagi tunu rungu yang dibutuhkan ialah visualnya, seperti bel peringatan
kebakaran, ada lampu yang kedap-kedip, bahasa isyarat dan running text. Sedangkan bagi tuna grahita yang diutamakan ialah
keselamatan, maka yang dibutuhkan ialah pembuatan bangunan yang tidak memiliki sudut lancip, tetapi dibuat
dengan sudut tumpul.[5]
Di Yogyakarta, aksesiblitas fisik relatif berjalan progresif.
Harry Kurniawan salah seorang peneliti Center
for Universal Design and Diffabilities (CIUDD) UGM mengatakan bahwa aksesibilitas
bagi penyandang disabilitas di Yogyakarta progresifitasnya berjalan, tetapi
tidak signifikan dan belum terintegrasi. Di jalan Malioboro sudah dipasang guiding
block, Giwangan akses tapi tidak maksimal, demikian juga Jogja Expo Center
(JEC). Di sektor swasta seperti Ambarukmo Plaza sudah akses, dan beberapa hotel
sudah akses tetapi belum keseluruhan.
Beberapa tempat itu sudah ada
upaya pemenuhan aksesebilitas tetapi belum optimal. Semisal di halte bus trans
Jogja, sudah ada ramp-nya, tetapi standar kemiringannya masih bermasalah.
Standar kemiringannya yang sudah layak itu
1 : 12, atau 1 : 14, tetapi di beberapa tempat tidak memenuhi standar
itu. Bahkan di beberapa tempat ramp-nya ada tetapi langsung membentur
kayu. Demikian juga kita bisa lihat di
hotel, sebagian tempat sudah ada ramp-nya, tetapi masih bermasalah karena toiletnya tidak memenuhi
standar sehingga sulit diakses penyandang tuna daksa.
Secara keseluruhan, pemenuhan aksesiblitas
bangunan fisik di Yogyakarta masih dengan catatan. Di level perencanaan beberapa
bangunan fisik sudah baik, tetapi di
level pelaksanaan dan pengawasannya lemah sekali. Mungkin itu sifat dari proyek
yang cenderung terburu-buru dan koordinasi lintas kedinasan sangat lemah.
Dampaknya ialah bangunan yang satu akses dan yang lain tidak, semuanya berjalan
serba parsial. Di satu tempat di dalam gedung bangunan sudah akses, tetapi
di tempat yang lain di gedung yang sama
tidak akses
Sedangkan di sektor swasta
sebenarnya lebih mudah untuk mendirikan bangunan yang aksesible. Pertama,
karena mereka harus memikirkan market di pasar. Kedua, mereka terikat dengan
idzin mendirikan bangunan (IMB), dimana pasca IMB biasanya ada idzin kelayakan
guna.[6] Disini
pemerintah seharusnya menegakkan peraturan, yaitu memastikan bangunan-bangunan
swasta berstandar universal desain, akses bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang disable.
Hal senada diungkap oleh Nuning
Suryaningsih, Direktur Ciqal dan penyandang tuna daksa. Menurutnya, di
Yogyakarta hanya beberapa kabupaten kota yang memiliki komitmen terhadap
aksesebilitas bagi penyandang disable. Di daerah kota Yogyakarta, walaupun
belum memiliki peraturan yang secara spesifik melindungi penyandang disable,
tetapi karena komitmen walikotanya (red : Hery Zudianto) yang kuat, beberapa
tempat di lingkungan Pemkot sudah aksesiblitas, walaupun masih ada beberapa
catatan soal standar aksesibilitasnya.
Di Sleman, pemerintahnya sudah
mempunyai Perda No. 11 tahun 2002 tentang Fasilitas Umum. Peraturan daerah ini
sesungguhnya memunculkan harapan banyak, karena peraturan ini disusun dengan
melibatkan banyak tokoh, salah satunya Bapak Setyadi mewakili dari penyandang
disabilitas. Tapi peraturan ini sampai saat ini belum optimal dilaksanakan.
Implementasinya bisa dikatakan tidak ada. Sampai saat ini, bangunan-bangunan
publik di pemerintahan Sleman yang relatif akses bisa dihitung jari, hanya DPRD
Sleman, Masjid Agung, Pendopo dan tidak permanen ramp-nya, serta di kantor
Bappeda. Di tempat yang lain belum.
Di kantor-kantor pemerintahan
Gunung Kidul dan Kulonprogo terlihat masih belum akses bagi penyandang
disabilitas. Di kantor pemerintahan Bantul, hanya di kantor pendoponya yang
sudah ada ramp, tetapi di tempat-tempat pelayanan publik yang lain masih belum
ada. Ramp di pendopo Bantul itupun atas dorongan dari NGO Ciqal yang pada waktu
itu berbarengan dengan acara penyandang disabilitas. Ini problem, karena
inisiatif tidak muncul dari pemerintah sendiri.
Demikian juga di kantor pemerintahan
Provinsi DIY. Beberapa tempat sudah ada ramp-nya, tetapi pemasangannya tidak
layak karena tidak sesuai dengan standar. Di gedung DPRD DIY dan beberapa
kantor di kepatihan sudah ada ramp-nya, tetapi tidak layak karena memakai kayu
dan curam. Semestinya bukan kayu, karena itu licin dan bisa membahayakan.
Apalagi, tidak ada karet di atasnya. Nuning mengatakan, dirinya pernah jatuh
terjungkal di salah satu kantor pemerintahan DIY karena tangganya yang tidak
akses. Karena itu, ia sangat menyesali bila kantor-kantor publik tidak akses bagi penyandang disabilitas.
Kondisi memprihatinkan lainnya ialah kantor Dinas
Sosial yang biasa menjadi tempat pertemuan penyandang disabilitas. Saat ini,
pertemuannya biasa dilakukan di lantai dua. Setiap ada pertemuan, pasti para
penyandang tuna daksa digotong untuk naik ke lantai atas. Padahal menurut
Nuning, sudah ada perbandingan di Dinas Sosial Bali, pertemuannya juga di
lantai dua, tetapi Dinas Sosial Bali membuatkan ramp, dan itu didesain dengan
standar yang layak bagi para disable.
Nuning menambahkan, di sektor
swasta khususnya hotel, sudah ada beberapa tempat yang akses, seperti hotel
Brongto, hotel Abadi, hotel MM UGM dan beberapa hotel lainnya. Walaupun di
beberapa hotel itu belum keseluruhan akses. Di hotel Abadi dan MM UGM sudah ada
ramp-nya, tetapi masih bermasalah dengan kamar mandinya. Sedangkan di hotel
Brongto, ramp-nya juga masih belum permanen. Problem aksesibilitas lainnya juga
terjadi di gedung rumah sakit. Biasanya, tempat pendaftaran pasien itu terlampu
tinggi dan tidak dijangkau oleh penyandang disabilitas. Berbeda dengan counter
bandara, dimana disitu sudah disediakan meja yang besar dan yang kecil.
Secara umum, pemenuhan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di kantor pemerintahan dan swasta di
Yogyakarta masih memprihatinkan. Tidak semua tempat akses, masih parsial antara
satu tempat dengan lainnya, politicall
will pemerintah yang terlihat rendah, serta minimnya pelibatan penyandang
disabilitas dalam perumusan kebijakan. Dampaknya menurut Nuning sangat
menyakitkan ; setiap ada pembangunan
fisik pasti meninggalkan diskriminasi bagi penyandang disabilitas.
Padahal, sudah ada aturan yang respect
bagi disable, tetapi selalu diingkari oleh pemegang kebijakan.[7]
Soeharto, Manajer Program Disability
Legal Info SIGAP dan seorang Tuna Netra
juga menyatakan bahwa problem serius pemangku kebijakan di pemerintahan
Yogyakarta ialah tidak komitmennya
pemerintah untuk menegakkan peraturan. Terkait standar aksesiblitas bangunan
sesungguhnya telah diatur di beberapa peraturan, seperti Permen PU No.
30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan
dan Lingkungan, UU RI No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dan beberapa
lainnya, tetapi sampai saat ini bisa dicek beberapa bangunan yang baru masih
belum ada perubahan signifikan.
Beberapa tempat yang masih
belum aksesible itu semisal terminal Giwangan;
lantai atas maupun bawah belum
akses, perkantoran-perkantoran publik masih belum akses secara total; di lantai
bawah beberapa akses tapi untuk ke
lantai dua masih belum akses, padahal bangunan itu semestinya sudah
universal desain. Demikian juga halte Yogyakarta ramp-nya terlalu curam dan
beberapa tempat ternyata ramp-nya membentur pohon. Kondisi menyedihkan juga
terjadi di bangunan fisik seperti UGM, UNY
dan beberapa kampus lainnya, rata-rata ruang publik lembaga pendidikan masih
belum akses.
Sedangkan di sektor swasta seperti beberapa hotel sudah akses, tetapi
juga masih belum akses secara keseluruhan. Tempat perbelanjaan yang akses itu
Ambarukmo Plaza, tempat lainnya belum. Demikian tempat-tempat wisata, rata-rata
masih belum akses. Namun demikian, Soeharto tetap mengapresiasi pemerintahan
Yogyakarta. Menurutnya, sudah ada
inisiatif pemerintah semisal membuatkan ramp, membuat Perda, dan lain-lain,
tetapi perlu ditingkatkan sehingga bisa maksimal. Menurut Seoharto, yang
diperlukan pemerintahan Yogyakarta saat ini ialah komitmen terhadap penegakan
hukum yang sudah dibuat.[8]
Keluhan senada juga diungkap oleh
Bagus, seorang Tuna Rungu dan ketua
Gergatin Provinsi DIY. Menurutnya, pelayanan publik di Yogyakarta masih belum
akses bagi tuna rungu. Di stasiun kereta api Yogyakarta masih belum ada running text penjelasan soal
pemberangkatan. Tuna rungu seringkali
kebingungan ketika kereta datang, dan mau berangkat : kemana tujuan, jam berapa
berangkat dan dimana gerbong tempat duduk.
Demikian juga di halte
transjogja. Di halte trans jogja belum ada monitor yang memperterang
pemberangkatan, tempat turun dan ataupun pelayanan bahasa isyarat. Situasi
serupa juga berlangsung di angkutan umum lainnya seperti bus dan taksi. Menurut
Bagus, hanya Bandara yang relatif akses, di sana sudah ada running
text soal pemberangkatan dan tujuan, sampai saat ini dirinya belum pernah
naik trans Jogja karena baginya cenderung menyesatkan.
Situasi menyedihkan juga
terjadi di ruang publik lainnya seperti rumah sakit, baik negeri ataupun
swasta. Banyak dokter yang tidak memahami penyandang tuna rungu, kadang ketika
berbicara menggunakan masker sehingga perintahnya tidak jelas, dan
mayoritas tidak paham bahasa isyarat. Di rumah sakit banyak
pasien penyandang tuna rungu yang salah paham terhadap perintah dokter, dan
tidak mematuhi terhadap anjuran-anjuran yang dberikan seperti minum obat,
makanan-makanan yang harus dihindari dan lainnya.
Kejadian diskriminasi lainnya,
ia alami ketika berada di Bank BPD di Yogyakarta. Dirinya dipanggil
berkali-kali tetapi karena tidak ada running text dan tidak mendengar ia tidak
tahu, akhirnya setelah beberapa lama, ia bertanya dan ternyata sudah dipanggil.
Ia maju, bukan pelayanan yang baik yang ia terima, tetapi ejekan dan anjuran
untuk menabung di tempat Bank yang lain. Akhirnya ia tidak jadi menabung, dan
berhenti jadi nasabah Bank BPD DIY.
Hal serupa biasa komunitas tuna
rungu alami di kantor-kantor pemerintahan. Semuanya menurut Bagus masih belum
akses bagi tuna rungu, karena tidak ada running
text, tidak ada monitor dan tidak ada penjelasan dalam bahasa isyarat.
Komunitas tuna rungu juga tiidak bisa mengakses bahasa informasi televisi.
Terdiskriminasi di sekolah-sekolah karena bahasa guru yang tidak akses dan
seringkali dibedakan oleh teman-temannya. Mereka juga mengalami problem ketika
membuat SIM : sangat sulit dan biasanya tidak diidzinkan.
Persoalan serupa juga biasa
terjadi sektor-sektor swasta. Bangunannya juga masih banyak yang belum ada running text, monitor dan pelayanan
dalam bahasa isyarat. Di hotel-hotel, bus, taksi dan beberapa lainnya,
rata-rata masih belum bisa diakses oleh penyandang tuna rungu. walaupun menurut
Bagus, sektor swasta lebih mudah untuk melayani, tetapi problematikanya selalu tidak
hilang. Karena itu, dampak pelyanan publik yang masih diskriminatif, penyandang
tuna rungu di Yogyakartta khususnya tidak biasa bergaul, hanya tinggal di
rumah, tidak memahami perkembangan informasi, tidak paham akan hak-haknya, dan
terisolasi secara sosial karena kalaupun
berkumpul hanya dengan komunitasnya.[9]
Menurut Setyadi, Direktur Driya
Manunggal dan seorang tuna netra, pemenuhan aksesibilitas fisik bagi penyandang
disabilitas sangat berkaitan erat dengan hak hidup seorang dan sekelompok orang
manusia. Tidak dipenuhinya ruang publik yang akses bagi penyandang disabilitas sama
halnya memenjara mereka, mengasingkan mereka, dan menutup hak-hak mereka untuk
hidup sejahtera dan mengakses hak-hak yang lain.
Di Yogyakarta pemenuhan
aksesibilitas bagi penyandang disable masih sangat lemah : dipenuhi tetapi
tidak seluruhnya. Sebagian jalan sudah akses tapi tidak seluruhnya, ada guiding
block tapi belum ada aturannya, jalur
kereta api sedikit akses tapi tidak sepenuhnya, dan ada trans jogja tapi
ramp-nya tidak memenuhi standar kelayakan. Aksesiblitas di bidang mobilitas di
Yogyakarta masih sangat lemah. Bagi tuna netra, architecture publik yang
menggunakan braille juga tidak banyak. Banyak ruang publik yang tidak akses
bagi penyandang tuna netra. Termasuk bacaan-bacaan yang ada. Karena itu ,
Setyadi mengaku sedang menggarap peta dengan menggunakan braille, karena peta
penting bagi anak-anak tuna netra.
Berangkat dari kegelisahan itu,
Setyadi mendesak untuk diciptakannya mikanisme complain. Setiap bentuk-bentuk
pelanggaran yang ada dalam ruang publik, khususnya bagi penyandang disabilitas harus
didorong untuk diselesaikan secara adil dan benar. Karena itu, lembaga seperti
Ombudsman seharusnya difungsikan dalam hal ini, walaupun Setyadi sadari bahwa
Ombudsman selama ini tidak begitu banyak berfungsi dan tergarap bagi pemenuhan
hak-hak penyandang disablitas. Kantor Ombudsman sendiri menurutnya belum akses
bagi para penyandang disabilitas.
Problem Ombudsman sebagai
lembaga pengaduan pelayanan publik, masih sama dengan lembaga-lembaga
pemerintahan lainnya. Tapi, Setyadi mengatakan, betapapun lemahnya Ombudsman,
lembaga ini perlu difungsikan dan aliansi masyarakat sipil khususnya komunitas
penyandang disabilitas perlu mengawal bagaimana pemenuhan pelayanan publik yang
adil dan non diskriminasi itu semestinya diberikan. Keberadaan instrumen hukum
dan pelayanan publik tidak cukup, tetapi harus
diawasi dan selalu dikawal oleh masyarakat sipil.[10]
Hal senada juga diungkap oleh
Soeharto dan Nuning. Menurut keduanya, selama ini complain yang biasa dilakukan
penyandang disable ialah langsung kepada penyelenggara proyek dan pemerintah,
tetapi selama itu pula tidak ada respon yang positif dari pemerintah. Hal itu,
bisa dicek ketika complain ketika pembangunan teriminal Giwangan dan bus trans Jogja. Semuanya berjalan buntu
tanpa perbaikan. Karena itu, keduanya juga merekomendasikan tentang pentingnya
dibuat mikanisme complain dan dibentuk lembaga yang menangani keluhan
pelanggaran terhadap persoalan-persoalan penyandang disabilitas.
Potret Aksesibilitas Non Fisik
Pemaknaan aksesibilitas non fisik disini ialah
menjangkaunya para penyandang disabilitas terhadap pelayan publik yang sifatnya
seperti bahasa pelayanan, sikap dan kualitas penerimaan. Aksesibilitas non fisik ini juga sangat fundamental bagi penyandang disable,
karena selain fasilitas publik yang semestinya akses, tetapi juga kualitas
pelayanan yang harus dijangkau dan dipahami oleh para penyandang disable.
Bagus ketua DPD Gergatin
Provinsi DIY mengatakan, problem yang melekat bagi tuna rungu itu ialah tidak
bisa mendengar. Karena itu, satu-satunya bahasa universal bagi tuna rungu itu
ialah bahasa isyarat, termasuk di dalamnya bahasa bibir. Ruang publik
semestinya menghadirkan bahasa isyarat, seperti televisi, seminar, traffic
lights dan pelayanan publik lainnya. Bahasa isyarat itu substansi, apalagi
sebagian besar tuna rungu itu tidak bisa berbicara lisan, hanya sebagian kecil
yang bisa berbicara lisan.
Di Yogyakarta, pelayanan publik
baik di sektor pemerintahan dan swasta, rata-rata petugasnya tidak mengerti bahasa penyandang tuna rungu.
Di tempat-tempat itu juga belum disediakan para penterjemah bahasa penyandang tuna rungu, sehingga sangat
menyulitkan komunikasi dan kesepahaman bersama. Situasi itu bisa ditemui di
rumah sakit, kantor-kantor pemerintahan, di hotel-hotel, mal-mal, dan
lainnya. Semuanya masih mendiskriminasi
para penyandang tuna rungu. Banyak yang masih belum akses. Menurut Bagus,
dirinya tidak tidak tahu kemana akan mengadukan soal-soal pelayanan publik yang
diskriminatif itu.[11]
Hal serupa diceritakan Nuning Suryaningsih.
Dirinya seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak ramah dari petugas
pelayanan publik. Mereka seringkali curiga ketika memakai kursi roda, dan
seringkali sikapnya melecehkan. Situasi yang sama juga biasa ia rasakan ketika
bepergian, orang-orang di sekitarnya biasa tidak menyapa kecuali dirinya
menyapa terlebih dulu. Nuning rasakan, orang-orang pada umumnya masih
memberlakukannya sebagai manusia yang berbeda, dan kurang bersahabat.
Peristiwa lainnya yang ia rasakan
ialah ketika di sebuah Bandara, dirinya ditinggalkan sendiri oleh pelayan
maskapai. Dirinya sebagai tuna daksa, ditinggal sendiri dan tidak dilayani
sampai pesawatnya mau berangkat. Nuning sangat kecewa, karena dirinya menyadari
bahwa tidak mungkin ia naik sendiri ke pesawat, dalam kondisi dirinya yang
bergantung pada kursi roda. Demikian juga, temannya Nuning seorang tuna netra,
temannya tidak dilayani di bandara dan ditinggal seorang diri sehingga sempat
kebingungan sendiiri. Temanya yang tuna netra, juga bermasalah ketika naik bus
dan kereta api. Karena keduanya juga masih belum akses.
Menurut Nuning, di beberapa
tempat pelayanan publik, salah satunya di bandara, sampai saat ini belum ada
pendataan yang mendasarkan pada kebutuhan khusus para penyandangan disabilitas. Sehingga, mereka kurang, bahkan tidak
dilayani sebagaimana kebutuhan khususnya. Padahal, pencatatan itu penting
mengingat para penyandang disabilitas itu beragam, dan membutuhkan
pelayanan-pelayanan yang berbeda-beda pula sesuai kekhusannya.[12]
Situasi serupa juga dipertegas
oleh Soeharto. Menurutnya, aksesibilitas non fisik bagi para penyandang
disabilitas baik sektor pemerintahan dan swasta belum dipenuhi, khususnya bagi
para penyandang tuna rungu. Di tempat-tempat pelayanan publik masih belum ada
interpreter, dan belum ada petugas yang khusus mengerti tentang bahasa isyarat.[13] Sehingga posisi mereka sangat terpojok,
dipaksa untuk memenjara diri, dan dilanggar hak-hak dasarnya.[14]
Analisa Dimensi HAM
Dari beberapa data dan informasi di atas, terlihat
jelas bahwa pemenuhan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas di
Yogyakarta masih belum mencapai maksimal,
dan masih terjadi diskriminasi pelayanan di banyak tempat, baik dimensinya
dalam aksesibilitas fisik maupun pelayanan yang sifatnya non fisik. Pemerintah terlihat lambat, bahkan terkesan
tidak ada kemauan (unwilling) untuk
memperbaiki fasilitas publik yang tidak bisa diakses oleh para penyandang
disable.
Dalam teori HAM, negara ialah pemangku kewajiban, sedangkan
masyarakat ialah pemangku hak. Identifikasi pemangku kewajiban dan hak ini merupakan
konsekwensi instrumen-instrumen hukum, utamanya instrumen hukum internasional
yang telah diratifikasi di Indonesia. Dalam hal pemenuhan aksesesiblitas fisik
dan non fisik bagi penyandang disabilitas, Indonesia secara khusus telah
meratifikasi Convention on the Rights of
Persons with Disabilities yang kemudian menjadi UU No. 19 tahun 2011
tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pemerintahan Indonesia
juga telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil (UU No. 12 tahun 2005) dan
Politik dan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU No. 11 tahun 2005),
dimana kedua instrumen ini sangat tegas menentang tindakan diskriminasi dan
menjamin prinsip universalitas dalam pelayanan publik.
Dalam konteks hukum HAM, negara
berjanji untuk mengakui, menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakkan HAM.
Ketentuan ini menegaskan tiga hal meliputi :[15]
1. Negara ditempatkan sebagai pemangku
tanggungjawab (duty holder), yang harus memenuhi
kewajiban-kewajibannya dalam pelaksanaan HAM, baik secara nasional maupun
internasional; sedangkan individu dan kelompok-kelompok masyarakat adalah
pemegang hak (rights holder)
2. Negara dalam ketentuan hukum HAM
tidak memiliki hak. Negara hanya memikul kewajiban dan tanggungjawab (obligation and responsibility) untuk
memenuhi hak warga negaranya (baik inidividu maupun kelompok) yang dijamin
dalam instrumen-instrumen HAM internasional.
3. Jika negara tidak mau (unwilling) atau tidak punya keinginan
untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawabanya, pada saat itulah negara
tersebut bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum
internasional. apabila pelanggaran tersebut tidak mau dipertanggungjawabkan
oleh negara, maka tanggungjawab itu akan diambil alih oleh masyarakat
internasional.
Sekali lagi, pertanggungjawaban
negara di atas secara lebih tegas merupakan dampak dari ratifikasi negara
Indonesia terhadap instrumen-instrumen HAM internasional, sehingga negara
memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mendukung dalam melaksanakan setiap
upaya pemajuan HAM, baik dimensinya pemenuhan bagi penyandang kelompok rentan,
diantaranya ialah penyandang disabilitas, ataupun pemenuhan yang dimensinya
universal seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, level nasional
maupun internasional. Kewajiban dan
tanggungjawab tersebut setidaknya bisa dilihat dalam tiga bentuk, meliputi :[16]
1. Tanggungjawab
Menghormati (obligation to respect).
Makna dari tanggungjawab ini ialah kewajiban negara untuk tidak turut campur
untuk mengatur warganegaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Dalam hal ini
negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang
menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Contoh, negara tidak turut campur
untuk mengatur praktek pelaksanaan agama tertentu, tidak melakukan penangkapan
dan penahanan secara semena-, memberi kebebasan kepada warga negaranya untuk
berkumpul dan berserikat, dan memberi kebebasan kepada warga negaranya untuk
memilih dalam pemilihan umum, dan lain-lain.
2. Tanggungjawab
Melindungi (obligation to protect).
Makna dari tanggungjawab ini ialah kewajiban negara agar bertindak aktif untuk
memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya. Dalam hal ini
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua
HAM oleh pihak ketiga. Contoh, kewajiban negara untuk bertindak ketika satu
kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis menyerang kelompok yang lain,
kewajiban negara untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang layak, dan
lain-lain.
3. Tanggungjawab
Memenuhi (Obligation to fulfill).
Makna dari tanggungjawab ini ialah kewajiban negara untuk bertindak secara
aktif agar semua warga negaranya itu bisa terpenuhi hak-haknya. Negara
berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum
dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh HAM. contoh,
kewajiban negara untuk memenuhi sistem perawatan kesehatan dasar, kewajiban
untuk mengimplementasikan pendidikan gratis pada tingkat dasar, kewajiban untuk
menjamin aksesibilitas bagi panyandang disabilitasi, dan lain-lainnya.
Selain tiga bentuk
kewajiban utama negara di atas, dalam implementasinya negara juga memiliki
kewajiban untuk mengambil langkah-langkah terhadap realisasi pemenuhan HAM.[17]
Di antara langkah-langkah itu ialah langkah untuk menjamin (to guarantee), untuk meyakini (to
ensure), untuk mengakui (to
recognize), untuk berusaha (to
undertake), dan untuk meningkatkan (to
promote).[18]
Kewajiban-kewajiban
negara tersebut, baik kewajiban untuk mengormati (obligation to respect), tanggungjawab untuk melindungi (obligation to protect), dan
tanggungjawab untuk memenuhi (obligation
to fulfill), semuanya mengandung unsur kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) dan kewajiban
untuk berdampak (obligation to result).
Kewajiban untuk bertindak mensyaratkan negara melakukan langkah-langkah
tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak. Sedangkan kewajiban untuk
berdampak mengharuskan negara untuk mencapai sasaran tertentu guna memenuhi
standar substantif yang terukur.[19]
Berdasarkan teori
dan insrumen hukum atas, maka pemerintahan Yogyakarta khususnya, dan
pemerintahan Indonesia umumnya, harus melaksanakan tanggungjawabnya untuk
memenuhi aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas, baik dimensinya fasilitas
fisik dan ataupun non fisik. Pemerintah harus bersungguh-sungguh untuk
memenuhinya secara segera, mengingat dampak pelanggaran HAM yang masih meluas
sampai hari ini terhadap para penyandang disabilitas.
Tuntutan pemenuhan
segera itu juga merupakan mandat dari beberapa instrumen hukum yang telah
berlaku di Indonesia seperti UU No. 25 tahun 2009 tentang Layanan Publik. Dalam
Undang-undang ini ditegaskan bahwa penyedia layanan publik harus bersikap adil dan tidak melakukan
diskriminasi dalam memberikan pelayakan. Pasal 29 menegaskan bahwa penyedia
pelayanan publik harus memberiikan pelayanan khusus bagi penyandang
disabilitas. Demikian juga UU No. 28
tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Undang-undang ini menegaskan bahwa
fasilitas publik harus dapat diakses oleh para penyandang disabilitas, seperti
pintu masuk dan keluar, ruang penghubung horizontal, hubungan vertikal dalam
gedung, transportasi vertikal, serta akses informasi.
Di samping itu,
pemerintah juga harus berupa yang untuk meniciptakan mikanisme complain bagi
penyandang disabilitas. Karena mikanisme complain, adalah bagiian yang tidak
terpisah dari pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Selama ini, mikanisme
complain yang ada masih belum efektif
mengakomodasi kepentingan-kepentingan para penyandang disabilitas,
sehingga pelanggaran hak-hak masih terus terjadi di lingkungan pelayanan
publik.
Karena itu, tidak
ada alasan bagi pemerintah untuk memperbaiki setiap bangunan publik yang belum
akses bagi penyandang disabilitas. Pemerintah
bahkan harus menjadikan standar aksesibilitas
sebagai persyaratan yang mengikat bagi setiap bangunan baru yang akan
dibangun. Demikian juga, pemerintah harus mendorong perwujudan mikanisme
complain yang efektif bagi para para penyandang disabilitas. Sebab jika tidak, pertama, pemerintah tekatagori melakukan pelanggaran HAM, karena
pemerintah melakukan pembiaran terhadap diskriminasi, unwilling untuk memperbaiki,
dan mengingkari terhadap tanggungjawabnya. Kedua, pemerintah terkatagori tidak patuh terhadap ketentuan-ketentuan
hukum yang telah ada. Ketentuan yang ada
berarti disimpangi dan tidak dijalankan dengan benar.
[1] Pada dasarnya setiap orang
diciptakan secara berbeda-beda, termasuk di antara mereka terlahir dalam
kondisi memiliki kekurangan, dan cacat. Secara kodrati mereka lahir sebagai
manusia denga fisik yang berbeda-beda. Karena itu, seluruh pelayanan publik, diantaranya
ialah architecture bangunan fisik
harus memiliki kaitan untuk membantu
kepentingan masyarakat yang memiliki kekurangan berupa cacat fisik seperti
buta, lumpuh dan lain sebagainya. Lihat Architecture for Diferently Abled, liputan khusus Majalah Sketsa : Majalah
Arsitektur Tarumanegara, Edisi 24 hlm 38.
[2] Lihat Pasal 1 Convention on
the Rights of Persons With Disabilities
[3] Lihat selebaran UCP dan Roda
Untuk Kemanusiaan tentang Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas
[4] Data-data ini secara
keseluruhan dihimpun dari berbagai laporan seperti PERTUNI, GERGATIN, BPS, dan
lembaga lainnya. Secara umum data yang ada dinilai masih belum komprehensif dan
akurat karena masing-masing lembaga menggunakan stanadar penilaian yang
berbeda-beda. Pendaataan yang buruk tersebut secara tidak langsung berdampak
terhadap advokasi yang tepat yang didasarkan pada bukti, kajian kebutuhan,
formulasi kebijakan, monitoring kemajuan dan evaluasi. Lihat Nicola Golbran, Akses Terhadap Keadilan
Penyandang Disabilitas Indonesia : Kajian Latar Belakang, Australian AID, 2010,
hlm 29
[5] Ariani, Sedia Payung Sebelum
Hujan. Lihat Architecture for Diferently
Abled, liputan khusus Majalah Sketsa
: Majalah Arsitektur Tarumanegara, Edisi 24,
hlm 11. Arini ialah Ketua Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indoensia.
[6] Wawancara Harry Kurniawan,
Rabu 20 Juni 2012
[7] Wawancara Nuning
Suryatiningsih, Direktur Ciqal, pada Rabu 20 Juni 2012
[8] Wawancara Soeharto, Manajer
Program Disability Legal Info, pada Kamis, 21 Juni 2012
[9] Wawancara Bagus, Ketua DPD
Gergatin Provinsi DIY, pada Jumat 22 Juni 2012
[10] Wawancara Setyadi, Direktur
Driya Manunggal, pada Kamis 21 Juni 2012
[11] Wawancara Bagus, Ketua DPD
Gergatin Provinsi DIY, pada Jumat 22 Juni 2012
[12] Wawancara Nuning
Suryatiningsih, Direktur Ciqal, pada Rabu 20 Juni 2012
[13] Wawancara Soeharto, Manajer
Program Disability Legal Info, pada Kamis, 21 Juni 2012
[14] Wawancara Setyadi, Direktur
Driya Manunggal, pada Kamis 21 Juni 2012
[15] Muhammad Syafari Firdaus,
dkk, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia
: Sebuah Panduan (Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), hlm 7
[16] Dalam kaidah-kaidah Mastrich
pada paragraf 6 disebutkan “Seperti
hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya membebankan
kepada negara tiga jenis kewajiban yang berbeda; kewajiban untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi. Kegagalan dalam melaksanakan salah satu kewajiban ini
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut. Kewajiban untuk menghormati
mengharuskan Negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam dinikmatinya
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jadi, hak utuk mendapatkan perumahan
dilanggar, apabila negara tersangkut dalam penggusuran paksa secara
sewenang-wenang. Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk mencegah
pelanggaran hak tersebut oleh pihak ketiga. Sehingga, kegagalan utuk memastikan
pengusaha swasta memenuhi standar dasar tenaga kerja dapat berarti pelanggaran
terhadap hak untuk bekerja atau hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil
dan menyenangkan. Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan Negara untuk
mengambilan tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum dan
semua hak tersebut. Dengan demikian, kegagalan negara-negara untuk memberikan
pelayanan kesehatan dasar kepada yang membutuhkan berarti sebuah pelanggaran”
[17] Dalam beberapa Prinsip-prinsip Limburg dinyatakan,
Paragraf 16 berbunyi “Semua Negara Peserta berkewajiban memulai secepatnya mengambil langkah-langkah ke arah realisasi sepenuhnya hak-hak yang tercantum dalam
Kovenan”. Paragraf 17 berbunyi “Pada
tingkat nasional Negara Peserta sebaiknya menggunakan semua sarana yang tepat,
termasuk tindakan legislatif, administratif, yudisial, ekonomi, sosial, dan
pendidkan, sesuai dengan sifat dari hak-hak untuk memenuhi kewajiban mereka
berdasarkan Kovenan”. Paragraf 22 berbunyi “Beberapa kewajiban berdasarkan
Kovenan mengharuskan pelaksanaan sepenuhnya dengan segera oleh semua Negara
peserta, seperti misalnya larangan mengenai diskrimininasi dalam pasal 2 ayat 2
Kovenan”.
[18] Muhammad Syafari Firdaus,
dkk, Pembangunan Berbasis…Op. Cit,
hlm 8
[19] Ibid 8-9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar